WISATA SEJARAH SAMARINDA
Saya
tau mengenai Wisata Sejarah sejak saya mulai melakukan penelitan Tugas Akhir
tentang Wisata Sejarah di Kota Samarinda. Saya tertarik mengambil Judul
Penelitian mengenai Wisata Sejarah Kota Samarinda karena pertama saya ingin tau
mengenai asal usul dan identitas Kota Samarinda dan yang kedua masih kurangnya
wisata sejarah yang diketahui oleh masyarkat luas. Dalam penelitian Tugas Akhir
ini, saya bekerjasama dengan teman saya
untuk membuat project bersama. Saya mengambil Judul Penelitian mengenai “Identifikasi
Daya Tarik Wisata Sejarah Kota Samarinda” dan teman saya mengambil judul
penelitan “Penyusunan City Tour Package Samarinda
in Heritage”. Dalam project ini, Saya dan teman saya ingin mencari tau
mengenai tempat-tempat bersejarah yang bisa dijadikan sebagai objek wisata yang
nantinya objek wisata tersebut dijadikan sebagai paket wisata city tour untuk
wisatawan yang ingin bernostalgia mengenai wisata sejarah Kota Samarinda dan
sekaligus menambah wawasan sejarah untuk para wisatawan.
Penelitian
saya dibantu oleh salah satu komunitas di Samarinda yaitu “Komunitas Jelajah”
yang merupakan salah satu dari anggotanya adalah teman dari dosen pembimbing
saya, jadi saya tau mengenai tempat-tempat wisata sejarah dari komunitas
tersebut dan Dinas Kebudayaan Kota Samarinda, setalah itu kami pun mulai melakukan
penelitian disetiap tempat.
Pertama
kali, kami dan salah satu anggota dari Komunitas Jelajah yang bernama Acil Ipet
melakukan observasi pada tanggal 11 April 2019. Lokasi pertama yang kami
kunjungi adalah Tugu Palagan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah
Pertempuran atau Perang. Kota Samarinda meliliki 4 Tugu Palagan yang terletak
di Jalan Sambutan, Solong, Teluk Lerong dan Gunung Lingai, disetiap tugu
tersebut memiliki cerita pertempurannya masing-masing. Dari ke 4 Tugu tersebut
lokasi yang strategis dengan Kota adalah Tugu Palagan 1 dan 3 yang terletak di
Jalan Sambutan dan Teluk Lerong tetapi lokasi tugu yang ada di Teluk Lerong
tidak memungkinkan untuk dikunjungi wisatawan karena lokasinya yang tidak
terbuka dan didaerah tersebut banyak gerobak para pedagang kaki lima yang
menaruh gerobak mereka di daerah sekitar tugu dan kondsi Tugu Palagan 3 juga
tidak terawat.
Tugu Palagan 1yang
terletak di Jalan Sambutan lokasinya mudah dijangkau, berada di pinggi jalan
dan ditempat terbuka serta kondisi tugu yang sudah terawat. Cerita sejarah yang
ada di Tugu Palagan 1 menceritakan tentang Seorang Pahlawan yang bernama Tarmidi atau nama sapaan beliau
Itar, lahir sekitar tahun 1920 an di Samarinda. Seorang pemuda dari Kampung
Solong di Kota Samarinda, yang berprofesi sebagai petani di daerah sekitar
rumahnya selain bertani di sela waktu luang beliau mengajar seni bela diri yang
disebut Kuntau (Seni bela diri dari Suku Banjar). Perawakannya bertubuh gempal,
kulit putih dan dikenal oleh keluarganya sebagai pribadi yang sangat pendiam.
Perjuangan beliau terakhir dimasa perang kemerdekaan Republik
Indonesia yaitu di sekitar Kampung Sambutan. Pada 6 Januari 1947 dengan pertempuran
tidak seimbang beliau tewas ditembak dibagian kepala oleh Belanda, mayat beliau
diseret menuju Jembatan Dua Sungai Dama dan dilempar ke sungai direndam selama
3 hari, penduduk kampung lalu menguburkannya dibelakan Rumah Sakit Islam
Selili. Setelah Penjajahan kolonial berakhir di Tanah air. Makam beliau
dibongkar dipindah Makam Pahlawan Ratna Kentjana di Jalan Kesatrian (sekarang
di sekitar jalan Mutiara). Pada tahun 1969 makam Tarmidi dipindah ke Taman
Makam Pahlawan Kesuma Bangsa di jalan Pahlawan hingga sekarang.
Tugu Perjuangan Pertempuran Pertama ini sudah masuk dalam
daftar salah satu Cagar Budaya Kota Samarinda, Tugu Palagan 1
ini dibuat untuk megenang jasa pahlawan kota Samarinda yang berjuang demi
kemerdekaan Indonesia. Tugu ini dibuat pada zaman pemerintahan walikota Bapak
Drs. H.A. Waris Husain dan diresmikan oleh beliau juga. Sebenarnya Tugu Palagan
belum terdaftar dalam Badan Pelestarian Cagar Budaya, tetapi dengan adanya Tugu
ini menjadi sebuah cerita sejarah kalau ternyata ada pahlawan Kota Samarinda
yang berani mempetaruhkan nyawanya demi kemerdekaan Indonesia dan menjadi
pembelajaran dan cerita sejarah bagi para generasi sekarang maupun yang akan
datang.
Dokumentasi Pribadi
Setelah
mendatangi Tugu Palagan 1, kami pun melanjutkan perjalanan ke Makam La Mohang
Daeng Mangkona yang merupakan salah satu pendiri kota Samarinda dan makam
beliau juga ada di daerah Samarinda Seberang sampai saat ini, bukan hanya makam
saja tetapi ada juga Masjid Shiratal Mustaqiem yang merupakan masjid tertua dan
sebagai bukti sejarah dalam syiar ajaran Agama Islam di Kota Samarinda serta
ada juga Perkampungan yang hampir semua warganya berprofesi sebagai pengrajin
Sarung Samarinda di daerah Samarinda Sebrang dan Rumah Tua yang merupakan rumah
bangunan rumah panggung suku bugis yang menjadi bukti sejarah Kota Samarinda
dan merupakan cikal bakal Kota Samarinda.
Makam
La Mohang Daeng Mangkona yang terletak di Jalan Abdul Rasyid, Kelurahan Masjid,
Samarinda Seberang, Kota Samarinda. La Mohang Daeng Mangkona merupakan salah
satu pendiri Kota Samarinda, beliau beserta rombongannya merupakan pendatang
dari Sulawesi tepatnya berasal dari Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Makam Daeng Mangkona diperkirakan sudah
berusia 300 tahun. Pertama kali makam Daeng Mangkona ditemukan oleh Bapak M.
Taha (Juru kunci Pertama Makam Daeng Mangkona) pada saat itu di daerah rumah
Pak Taha ingin dijadikan perkebunan sehingga harus dibakar terlebih dahulu
tetapi ada bagian yang tidak terbakar setelah diperhatikan ternyata ada
beberapa makam yang ada di daerah tersebut. Pak Taha melaporkan kejadian ini
kepada Pak Jabar yang merupakan salah satu pengurus atau pengelola di Museum
Mulawarman, Tenggarong. Setelah diteliti oleh pihak pengurus atau pengelola
Museum Mulawarman dilaporkan lagi kepada Dinas Nasional di Jakarta agar dapat
bisa diteliti lebih lanjut.
Pihak
Dinas Cagar Budaya Nasional datang ke Samarinda setelah ada laporan mengenai
makam ini dan ternyata setelah diteliti lebih lanjut ada hal bersejarah yang
ada di daerah tersebut, ditemukannya makam salah satu pendiri Kota Samarinda.
Setelah masuk dalam kriteria Cagar Budaya, Makam Daeng Mangkona juga termasuk
dalam Cagar Budaya Nasional yang dilindungi.
Di
daerah tersebut, ada 5 makam yang pertama Makam Daeng Mangkona dan disampingnya
diperkirakan makam sang istri Daeng Mangkona dan ketiga makam lainnya
diperkirakan makam anak Daeng Mangkona dan saudaranya. Tetapi sampai sekarang
masih belum diketahui apa penyebap meninggalnya Daeng Mangkona dan kapan beliau
meninggal. Daeng Mangkona beserta rombongannya mulai membangun permukiman
daerah Samarinda pada Januari 1668 yang kemudian dijadikan patokan untuk
menetapkan hari jadi Kota Samarinda dan pada setiap hari besar itu Walikota
Samarinda beserta staff atau instansi pemerintah lainnya berziarah ke Makam Daeng
Mangkona.
Setelah dijadikan sebagai tempat Cagar Budaya
Nasional yang dilindungi maka mulai adanya perawatan dan pembangun fasilitas
lainnya yang ada disekitar makam, yaitu dibangunnya pendopo pada tahun 1994
untuk melindungi makam agar tetap bersih dan terjaga, gazebo, fasilitas lainnya
seperti toilet untuk orang yang berziarah dan pagar pada tahun 2012 agar makam
tetap sakral dan terjaga.
Dokumentasi Pribadi
Masjid Shiratal Mustaqiem merupakan masjid tertua di
Kota Samarinda yang beralamat di Jalan Bung
Tomo, Kecamatan Masjid, Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, selain
menjadi tempat ibadah masjid ini juga dijadikan sebagai salah objek wisata
unggulan Kota Samarinda. Ada 4 keunikan atau nilai yang bisa para pengunjung
lihat di masjid ini yaitu yang pertama bangunan masjid sudah berusia 137 tahun
yang dibangun dengan bahan dasar kayu ulin dan sampai sekarang masih tetap
kokoh dan terawat, yang kedua Al-Qur’an Tua atau Al-Qur’an tulis tangan yang
sudah berusia 398 tahun, yang ketiga Mimbar Masjid Tua yang terbuat dari kayu
ulin yang sudah berusia 137 tahun dan yang ke empat Kotak Infaq Besi yang juga
sudah berusia 137 tahun.
Pada masa
itu, Samarinda Seberang cukup dikenal sebagai daerah area judi, ataupun sabung
ayam. Selain itu predaran minuman keras juga marak di kawasan Samarinda
Seberang. Sehingga menimbulkan keresahan warga sekitar. Namun, pangeran
Bendahara mendatangi mereka untuk mengajak menjalankan syariat islam.
Pada tahun 1880, Pangeran Bendahara adalah gelar
yang diberikan kepada Said Abdurrahman bin Assegaf dan diangkat menjadi Kepala
Adat di Samarinda Seberang oleh Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman. Beliau seorang
pedagang muslim dari Yaman yang lahir di Pontianak yang taat dan menyebar Agama
Islam.
Pangeran
Bendahara dan tokoh masyarakat setempat berunding untuk mencari jalan keluar
agar Samarinda Seberang bersih dari aktivitas itu. Dalam perundingan
disepakati, lahan seluas 2.028 meter persegi
akan dibangun masjid, dan masjid tersebut dinamakan Masjid Shiratal
Mustaqiem hingga sampai saat ini.
Dokumentasi Pribadi
Kampung Wisata Tenun yang juga masih
berada di daerah Samarinda Seberang juga sebenarnya memiliki nilai sejarah,
bahkan Kampung Wisata Tenun sudah menjadi salah satu objek wisata unggulan di
Kota Samarinda yang beralamat di Jalan Pangeran Bendahara
Gang Pertenunan, Kelurahan Tenun, Samarinda Seberang, Kota Samarinda.
Di Kampung Wisata Tenun, para
pengunjung bisa belajar dan melihat proses pembuatan Sarung Samarinda secara langsung
dari para penenun ahlinya sendiri. Asal mula Sarung Samarinda berasal dari
Sulawesi, karena pada saat itu banyak para pendatang yang berasal dari Sulawesi
merantau ke Samarinda Seberang pada abad 17.
Kampung Pamanah di Gang Pertenunan
Samarinda Seberang tempat para perantau bugis tinggal. Jauh dari tanah leluhur
tidak membuat perantau dari Sulawesi meninggalkan tradisi mereka. Sarung yang
mereka bikin tersebut rupanya menarik minat orang untuk membeli. Karena mereka
sudah tinggal di Samarinda, maka sarung yang mereka buat dinamakan Sarung
Samarinda.
Sarung
Samarinda yang semula merupakan sarung dari komunitas bugis mempunyai corak
yang monoton “kotak-kotak berwarna hitam dan merah tua”, seiring dengan
perkembangan jaman maka pengrajin sarung melakukan evolusi dan semakin berani
memadukan motif dan warna yang keluar dari pakemnya, bahkan kelompok pengrajin
bekerjasama berhasil memadukan motif sarung samarinda yang dikombinasi dengan
batik dayak pada sisi sarung, selain membatasi jumlah produksi dalam tiap
motifnya mereka juga mampu menciptakan motif yang kaya akan perpaduan budaya di
Kalimantan Timur, khususnya Kota Samarinda.
Sumber Internet
Rumah Tua yang beralamat di Jalan Pangeran Bendahara
merupakan rumah adat suku Bugis yang dibangun pada tahun 1955 oleh saudagar
kaya dari Sulawesi. Rumah tersebut merupakan rumah pribadi saudagar kaya. Rumah
Tua terbuat dari bahan kayu ulin. Bangunan Rumah dengan bangunan rumah panggung
yang dibawahnya terdapat kolong yang bertujuan untuk sebagai tempat santai atau
beristirahat diluar rumah dan ada 2 tangga didepan dan dibelakang rumah tua.
Rumah Tua ini juga dijadikan sebagai objek wisata
yang dapat dikunjungi dan di dalam Rumah Tua juga dijadikan sebagai art gallery untuk kerajinan khas
Samarinda, seperti produk sarung tenun dan Rumah Tua ini juga berada dalam kawasan
Kampung Wisata Tenun Samarinda.
Dulunya Rumah Tua ini merupakan peninggalan sejarah
yang memiliki nilai sejarah dan rumah tersebut juga sudah dibeli oleh
pemerintah sehingga sekarang sudah menjadi hak milik pemerintah.
Di tahun 2013, pihak Pemerintah Kota Samarinda
merenovasi bangunan Rumah Tua dan hanya menyisahkan bangunan pondasinya yang
tetap utuh. Semua bangunan direnovasi kecuali pondasi diganti dengan
bahan-bahan yang baru. Dengan direnovasinya Rumah Tua ini, nilai sejarah yang
ada di Rumah tersebut sudah hilang dan hanya menyisahkan pondasi rumahnya saja
yang masih utuh, sehingga sulit dikatakan sebagai bangunan Cagar Budaya karena
sudah mengalami renovasi diseluruh bangunannya.
Setelah direnovasi pada tahun 2013, dibuatlah plang
di depan Rumah Tua yang bertuliskan Rumah Adat Cagar Budaya yang sebenarnnya hukum
perlindungan Cagar Budayanya masih belum ada bahkan belum adanya SK yang dibuat
oleh Pemerintah Kota Samarinda dan belum juga terdaftar sebagai bangunan Cagar
Budaya tetapi sudah ada plang yang menyatakan seperti itu.
Walaupun masih ada pro dan kontra mengenai Rumah Tua
apakah dijadikan sebagai Bangunan Cagar Budaya atau bukan tetapi pihak Dinas
Kebudayaan Kota Samarinda sudah mendata telebih dahulu nilai yang ada di Rumah
Tua, untuk status sebagai Cagar Budaya atau bukan nanti akan diteliti lebih
lanjut dengan Tim Ahli Cagar Budaya tetapi untuk sekarang ini Rumah Tua
dijadikan sebagai objek wisata di Kota Samarinda.
Sumber Internet
Samarinda pada akhirnya juga menjadi tujuan bermukim
dari berbagai etnis lain dari seluruh Indonesia. Penduduk Samarinda pun menjadi
heterogen. Dengan demikian heterogenitas penduduk sangat mewarnai perjalanan
dan perkembangan Kota Samarinda.
Namun, sekalipun sudah menjadi sangat heterogen.
Samarinda tidak kehilangan identitas dirinya sebagai sebuah kota yang berada
dalam lingkaran kebudayaan Dayak. Semua penduduk sejak zaman dahulu, mengakui
dan menghormati posisi itu. Karena itu, symbol-simbol kota diambil dari
kekayaan kultur suku Dayak.
Desa Budaya Pampang
yang mayoritas penduduknya suku dayak merupakan salah satu suku dan juga
penduduk yang tinggal di Kota Samarinda. Desa Budaya Pampang terletak di Jalan
Dahlia No. 69, Sungai Siring, Samarinda Ulu, Sungai Siring, Samarinda Utara,
Kota Samarinda.
Suku dayak yang
merupakan bagian dari penduduk kota Samarinda juga memiliki sejarah atau awal
mula merantau ke wilayah Kota Samarinda bermula saat Suku Dayak Apokayan
merantau ke wilayah-wilayah ataupun kampung-kampung untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih baik dari segi kesehatan dan pendidikan. Mereka menempuh perjalanan
selama bertahun-tahun untuk menemukan tempat tinggal yang cocok bagi mereka.
Sehingga mereka tiba di kawasan Pampang dan akhirnya mereka hidup di desa
Pampang dan melakukan berbagai kegiatan masyarakat pada tahun 1970an.
Setelah mereka
mendapatkan tempat tinggal yang cocok, mereka juga mengajak keluarga dan
kerabat dekat mereka untuk merantau di Desa Pampang. Maka dari itu, Desa
Pampang terkenal dengan wilayah atau kampung suku dayak dikarenakan mayoritas
penduduk yang tinggal disana adalah suku dayak.
Desa Pampang resmi
menjadi bagaian Kota Samarinda Kelurahan Sungai Pinang Dalam pada tahun 1973. Rumah
Lamin yang ada di Desa Budaya Pampang dibangun pada tahun 1988 selesai pembangunan
1990. Desa Pampang dijadikan sebagai Objek Wisata pada bulan Juni tahun 1991
oleh Gubernur Kalimantan Timur yaitu Bapak H.M Ardans. Pemerintah merasa begitu
tertarik dengan desa budaya ini yang mempunyai aktivitas positif serta dapat
menjadi aset budaya dan wisata unggulan baik di tingkat lokal bahkan juga
mancanegara.
Melalui desa ini,
pemerintah mengharapkan desa ini dapat selalu mempelihara serta melestarikan
kebiasaan istiadat serta kebudayaan orang-orang Suku Dayak, karena dayak
sendiri pun juga salah satu suku penduduk yang tinggal di Kota Samarinda.
Dengan adanya Desa Budaya Pampang ini, suku dayak juga bisa dikenal lebih luas
dan bagi pengunjung yang penasaran dan ingin tau mengenai suku dayak bisa
berkunjung ke Desa Budaya Pampang untuk melihat bagaimana keaslian ataupun
kesenian suku dayak. Keaslian ataupun adat istiadat yang bisa pengunjung lihat
disana yaitu, pengunjung bisa melihat orang dayak yang bertelinga panjang dan
kesenian tari-tarian suku dayak yang akan ditampilkan oleh para penari suku
dayak dari yang berusia masih belia hingga orang tua.
Dokumentasi Pribadi
Setelah saya
mengumpulkan daftar objek wisata sejarah yang ada di Kota Samarinda, maka teman
saya akan melanjutkan penelitian saya untuk dijadikan sebagai produk paket City Tour Samarinda In Heritage dan dipromosikan kepada masyarakat luas dan puji
syukurnya penelitian kami pun berhasil, kami mendapatkan wisatawan yang berasal
dari Sangatta yang berminat dengan paket wisata city tour yang kami tawarkan.
Dalam penelitian ini, saya
banyak mendapatkan pengetahuan baru sekaligus pengalaman dan relasi dengan
semua pihak yang telah membantu penelitian saya dan terutama saya juga sudah
tau mengenai sejarah asal usul Kota Samarinda yang merupakan Kota Kelahiran
saya.
Komentar
Posting Komentar